Cangkul dan Bakul! Kami Bukan Hanya Cosplay sebagai Petani, Namun Hadir Membawa Aksi
Cangkul dan Bakul itu bagaikan siang dan sore. Tidak terpisahkan, saat kita mengenalkan diri sebagai orang dari desa kepada orang kota, maka hanya akan ada dua kemungkinan, mereka mengenal cangkul dan bakul lewat petani atau stigma mbok-mbok jamu jadul. Ah, ini masalah yang sepele, Cangkul dan Bakul sebenarnya bukan hanya soal petani dan penjual jamu, kadang juga lambang perlawanan petani, Wani!.
“Kami ingin menunjukkan bahwa profesi petani bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi sangat mulia. Dengan memakai kostum petani lebih tepatnya kain sorjan khas Jawa, kami berharap bisa menginspirasi teman-teman lain untuk lebih menghargai pekerjaan para petani khususnya petani Jawa dan bahkan mempertimbangkan untuk terjun ke dunia agribisnis di masa depan,” ujar Andhika, salah satu anggota kelompok yang memerankan seorang Petani dalam gelaran karnaval.
Kepala sekolah SMK PSM 1 Kedunggalar, Bapak Cholik Choirul Chufa, M.Pd, memberikan pujian atas inisiatif para siswa tersebut. “Saya sangat bangga dengan anak-anak ini. Mereka tidak hanya menunjukkan kreativitas, tetapi juga kepedulian terhadap isu-isu sosial yang penting. Ini adalah bukti bahwa pendidikan di SMK PSM 1 Kedunggalar bukan hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga tentang membentuk karakter yang peduli pada masyarakat,” tuturnya.
Penampilan siswa-siswa dengan kostum petani dalam barisan pasukan ini berhasil meraih perhatian lebih dari peserta karnaval lainnya. Mereka tidak hanya menjadi tontonan menarik, tetapi juga pembawa pesan penting tentang keberlanjutan dan pentingnya menghargai profesi yang sering dianggap sepele.
Aksi para siswa ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap profesi petani, terutama di kalangan generasi muda. Dengan kesadaran akan pentingnya peran petani, mereka berharap dapat mendorong lebih banyak orang untuk mendukung dan terlibat dalam sektor pertanian, yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.
Jalan normatif semacam ini memang perlu dilakukan. Namun, akan lebih ideal jika dibarengi dengan cara populer, mau sampai kapan pola komunikasi publik kuno dipertahankan atau sekedar syarat menggugurkan tugas. Instrumen digital harus dilibatkan, agar edukasi tentang profesi tani tak berhenti pada generasi bapak ibu kita bahkan tenggelam di momen peringatan melalui podium sambutan. Sudah waktunya menempuh jalur FYP, trending youtube, dan viralisme.